Pulau Sulawesi dikenal sebagai wilayah dengan kekayaan sumber daya alam yang luar biasa. Sebagai pulau terbesar keempat di Indonesia dan ke-11 di dunia, Sulawesi memiliki kekayaan mineral strategis, terutama nikel. Nikel menjadi komoditas unggulan yang tersebar di Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, hingga Maluku Utara. Bahkan, Sulawesi Tenggara dikenal sebagai daerah penghasil nikel terbesar di Indonesia, dengan cadangan nikel di seluruh Sulawesi menyumbang sekitar 90% dari total nasional.

Namun di balik kekayaan tersebut, muncul berbagai persoalan serius yang harus dihadapi masyarakat lokal. Salah satu isu yang paling menonjol adalah dampak tambang nikel di Pulau Kabaena, sebuah pulau kecil di Sulawesi Tenggara yang kini menjadi simbol ketimpangan pengelolaan sumber daya alam.
Pulau Kabaena: Pulau Kecil yang Terkepung Tambang
Pulau Kabaena hanya memiliki luas 873 km², menjadikannya bagian dari kategori pulau kecil sesuai Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K). Dalam UU ini, disebutkan bahwa aktivitas pertambangan tidak boleh dilakukan di pulau kecil jika menimbulkan kerusakan lingkungan, pencemaran, atau kerugian bagi masyarakat sekitar.
Sayangnya, ketentuan ini seolah tak berlaku di Kabaena. Hingga 75% wilayah pulau ini telah dikapling oleh sekitar 30 perusahaan tambang melalui Izin Usaha Pertambangan (IUP). Ini menunjukkan bagaimana hukum dapat diabaikan demi kepentingan investasi dan eksploitasi sumber daya alam.
Dampak Lingkungan: Deforestasi dan Pencemaran
Dampak tambang nikel di Pulau Kabaena tak hanya melanggar hukum, tetapi juga membawa kerusakan ekosistem yang sangat parah. Sejak tahun 2001 hingga 2022, lebih dari 3.374 hektar hutan di pulau ini telah hilang akibat deforestasi. Aktivitas tambang menyebabkan tanah longsor, banjir bandang, dan penurunan kualitas air.
Pencemaran sungai dan laut juga sangat mengkhawatirkan. Studi menunjukkan adanya peningkatan kadar logam berat seperti nikel, kadmium, dan asam sulfat yang melebihi ambang batas aman. Air laut yang dulu menjadi sumber kehidupan nelayan kini berubah menjadi racun. Akibatnya, hasil tangkapan ikan menurun drastis, dan masyarakat kehilangan sumber penghidupan utama.
Baca juga: Riau Bisa Dongkrak Ekonomi Biru, Bersaing dengan Singapura
Dampak Sosial: Kehilangan Lahan dan Penggusuran
Sebelum tambang hadir, masyarakat Pulau Kabaena hidup dari berkebun, melaut, dan bertani. Namun kini, banyak lahan produktif dialihfungsikan menjadi area tambang. Kebun-kebun warga hancur, sawah hilang, dan laut tercemar. Ini menyebabkan penurunan ekonomi masyarakat lokal secara drastis.
Suku Moronene, masyarakat adat yang telah mendiami wilayah ini selama ratusan tahun, menjadi korban dari ekspansi tambang. Mereka mengalami penggusuran paksa tanpa kompensasi yang layak. Konflik pun tak terelakkan. Salah satu kasus terjadi di Desa Mandiodo, Kecamatan Molawe, Konawe Utara. Tiga warga dijebloskan ke penjara karena mempertahankan lahan mereka sendiri dari klaim sepihak perusahaan tambang.
Krisis Kesehatan dan Ketimpangan Sosial
Selain kehilangan sumber mata pencaharian, masyarakat Pulau Kabaena kini menghadapi ancaman kesehatan yang serius. Polusi udara dan air akibat aktivitas pertambangan menyebabkan meningkatnya kasus penyakit pernapasan dan kulit. Anak-anak dan lansia menjadi kelompok paling rentan.
Ironisnya, keuntungan besar dari tambang nikel justru mengalir ke segelintir elite dan korporasi besar, sementara rakyat hanya menerima kerusakan. Dampak tambang nikel di Pulau Kabaena menjadi potret buram dari model pembangunan yang tidak berkeadilan.
Rakyat Miskin di Tanah Kaya
Apa yang terjadi di Pulau Kabaena mencerminkan kegagalan negara dalam melindungi rakyat dan alamnya dari kerakusan modal. Kekayaan alam yang seharusnya menyejahterakan, justru menjadi sumber penderitaan. Regulasi yang dilanggar, lingkungan yang hancur, dan masyarakat yang terusir menjadi bukti bahwa narasi pembangunan saat ini masih berpihak pada kekuasaan dan pemilik modal.
Sudah saatnya pemerintah meninjau ulang semua izin tambang di pulau kecil seperti Kabaena. Perlu ada keberpihakan yang jelas terhadap masyarakat lokal, penegakan hukum atas pelanggaran lingkungan, dan penghentian eksploitasi yang tidak berkelanjutan. Jika tidak, maka dampak tambang nikel di Pulau Kabaena akan menjadi preseden buruk bagi wilayah lain di Indonesia.
Baca juga: Swasembada Energi Sumut: DEM Sumut Siap Jadi Motor Penggerak Pemuda Energi