Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, melalui Menteri Kehutanan menyatakan akan membuka 20 juta hektare hutan untuk sumber ketahanan pangan dan energi. Rencana ini dikhawatirkan akan berdampak pada kerusakan lingkungan yang berujung krisis iklim dan bencana.
Indonesia adalah negara yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Proyek pembebasan 20 juta hektare hutan akan memperburuk dampak perubahan iklim, karena emisi dari sektor tata guna lahan akan meningkat secara signifikan. Pembukaan hutan seluas dua kali pulau Jawa ini akan mendongkrak deforestasi Indonesia dalam rentang 2001 hingga 2022 ─ menurut data Global Forest Watch (GFW) ─ mencapai 10.295.005 hektare.
Menteri Kehutanan (Menhut), Raja Juli Antoni, menyampaikan bahwa rencana pembebasan hutan ini dirancang untuk memperluas program ketahanan pangan atau food estate dari skala besar hingga ke tingkat kecamatan dan desa sedangkan tanaman energi akan difokuskan pada penanaman aren sebagai bahan baku bioetanol. Adapun, peran Kementerian Kehutanan terbatas pada penyediaan lahan, sedangkan swasembada pangan dan energi dilaksanakan oleh Kementerian Pertanian serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM).
Penyediaan kawasan hutan untuk energi bukan hal baru. Rencana ini sudah ada dalam Peraturan Menteri LHK Nomor 7/2021 tentang Perencanaan Kehutanan, Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan, serta penggunaan kawasan hutan. Hanya saja, jangan dijadikan hal impulsif untuk menjawab cita-cita pemerintahan saat ini tanpa memerhatikan risiko yang akan dihasilkan setelahnya.
Deforestasi & Gas Rumah Kaca: Mengapa Hutan Penting?
Penyebab utama perubahan iklim yang drastis dan terkadang tidak dapat diubah adalah akumulasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer. Pohon memiliki kemampuan luar biasa untuk menangkap dan mengakumulasi gas rumah kaca, sehingga menyelamatkan planet ini dari panas berlebih. Penggundulan hutan dalam skala besar dan tak terkendali akan meningkatkan GRK dan secara substansial menambah peningkatan suhu bumi. Oleh karena itu, aktivitas menjaga hutan bersamaan dengan fokus pada pemulihan tutupan hutan adalah hal yang penting.
Rencana pembukaan lahan 20 juta hektare ini merupakan kabar buruk karena pemerintah tidak transparan dalam pengembangan bioenegi ini. Informasi soal emisi yang dari sebagai hasil dari pembukaan lahan dan proses pembakaran semestinya menjadi perhatian khusus yang dsampaikan kepada masyarakat. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah deforestasi benar-benar solusi dalam transisi energi, atau justru menjadi dalih untuk menyamarkan kepentingan yang lain?
Tulisan ini menyoroti risiko bencana akibat pembukaan hutan secara besar-besaran oleh pemerintah, terutama jika dilakukan di hutan primer. Mengubah bentang alam dan tutupan hutan dengan menanam sawit, tanaman energi, atau padi di kawasan hutan akan meningkatkan potensi bencana serta membebani fungsi ekologis hutan dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Saat ini, bahkan tanpa perluasan pembukaan lahan, sekitar 30 juta hektare kawasan hutan di Indonesia telah mengalami degradasi akibat perizinan konsesi kehutanan.

Deforestasi Pembukaan 20 Juta Hektare Hutan Adalah Solusi PALSU untuk Ketahanan Pangan dan Energi.
Rencana pemerintah membuka 20 juta hektare hutan merupakan langkah mundur dan kontradiktif. Pasalnya, dalam COP29 di Azerbaijan, pemerintah berkomitmen melakukan reforestasi atau pengembalian tutupan hutan seluas 12,7 juta hektare, sebagaimana Hashim Djojohadikusumo, sampaikan, sebagai delegasi Indonesia.
Pemerintah salah kaprah melihat cara pembangunan kedaulatan pangan dan energi. Laporan tim ilmuwan Global Carbon Project dalam jurnal Earth System Science Data yang rilis akhir 2023 menyebut bahwa emisi karbon dioksida (CO2) global pada 2023 terus mengalami kenaikan, bahkan menduduki tingkat tertinggi dalam sejarah. Indonesia pun menempati posisi kedua sebagai negara penghasil emisi terbesar di dunia dalam sektor lahan.
Jika produksi pangan dibangun dalam skala besar dan siklusnya berdampak pada krisis iklim, justru hasil produksi pangan akan menurun. Karena itu, pemerintah keliru menyikapi masalah pangan dengan solusi pembukaan lahan dalam skala besar. Pemerintah seharusnya fokus pada revitalisasi lahan pertanian dengan melibatkan petani dalam proses produksi pangan, bukan menggantikan mereka dengan korporasi besar yang hanya mengejar keuntungan.
Narasi pemerintah memastikan swasembada pangan dan energi hanya sebagai tempelan untuk melegitimasi penyerahan lahan secara besar-besaran kepada korporasi, dan untuk memastikan bisnis pangan dan energi bisa terus membesar serta meluas. Selama pangan dan energi masih dalam kerangka bisnis, keadilan bagi rakyat dan lingkungan hidup tidak akan pernah tercapai.
Salah satu masalah yang bisa muncul dari nafsu pemerintah membuka 20 juta hektare hutan adalah eskalasi konflik terhadap masyarakat adat dan komunitas lokal di sekitar hutan. Pada praktik transisi energi misal, pemerintah kerap mengesampingkan nasib masyarakat terdampak. Kita refleksikan saat ini, apakah daerah-daerah eksploitasi adalah daerah-daerah yang masyarakatnya kaya dan sejahtera atau justru miskin dan menderita?
Proyek 20 juta hektare ini sangat paradoks. Pasalnya, pemerintah merencanakan untuk mencapai swasembada pangan pada 2025, sisi lain, lahan pangan masyarakat yang sudah ada justru berisiko dikonversi. Ini sangat aneh dan tidak masuk akal. Ini perlu adanya kajian mendalam mengenai dampak lingkungan dan sosial dari kebijakan ini. Sebaiknya, pemerintah mempertimbangkan alternatif lain seperti memanfaatkan lahan terdegredasi atau meningkatkan efisiensi sistem pertanian dan simber daya alam yang ada agar tidak merugikan ekosistem dan masyarakat.
Baca juga: Kebijakan Subsidi LPG 3 Kg: Beban Baru bagi Masyarakat Kecil